Inipun telah_lagi menjadi hal yang cukup umum bagi sebagaian besar Ummat Muslim, bahwa huruf B (b) yang diberi tanda dabel fatah di atasnya (dua garis sejajar) merupakan penanda bahwa huruf termaksud disuarakan ada 'a'nya, serta diakhiri dengan bunyi 'èn'. Seperti mana tadi penulis lagi berkomunikasi melalui messsanger dengan kawan lama dari Bekasi (Kabupatèn Bekasi, bukan Bèkasi): Tèddy Saputra, menanyakan dengan menggunakan Bahasa Sunda, mengenai 'simkuring eukeur di mana, kalih damel di mana'?. Penulis jawab: di #Bandung_2 , maksud penulis yaitu di Kabupatèn Bandung, yang merupakan kewilayahan Daèrah Tingkat ke-2 (dalam arti bukan ke-2 setelah Provinsi Jawa Barat, namun ke-2 (runner up) membayangi setelah Kota Bandung yang merupakan kewilayahan Daèrah Tingkat ke-1).
Namun, keduanya sama-sama berawalan suku_kata: 'Ban'. Maka penulispun kadi teringat huruf 'Ba' yang diberi tanda tanwin di atasnya (guru penulis, Bu Ining, memberitahu penulis bahwa di Jawa Barat istilah guna menandai adanya akhiran berbunyi 'an' ini bisa menggunakan dua tanda fatah yang disebut fatah_tan).
Adapun belakangan ini penulis berpikir bahwa tanwin-tanwin, baik guna menandai adanya bunyi 'an', 'in', ataupun 'un", apabila penggunaannya bukan dalam Bahasa al-Qur`an (Bahasa Arab asli), namun hanya menggunakan huruf-huruf Arabnya saja tapi guna penggunaan berbahasa bukan Arab, maka tiada salah bila dilakukan beberapa modifikasi sesuai keperluan para penggubah guna komunikasi para pengguna yang mengajukan dan diajukan.
Dapat dibayangkan, apabila banyak orang yang bukan berbahasa nasional yang sama dengan kita, menjadi dapat berkomunikasi secara leluasa dan saling pengertian apabila lafal-lafal satu sama lain dapat diwadahi dengan adanya suatu cara penulisan yang sama dari simbol bunyi suara manusia. Selanjutnya komunikasi digital visualpun akan semakin memberikan dampak syukur kepada Alloh.
Dalam postingan ini, penulis belum menyepakati apabila fatah_tanwin terhadap huruf 'Ba' Arab ini dipergubahkan guna pemakaian dalam kata 'Bandung'. Mengapa?.
Bagi penulis, setelah beberapa lama berpikir dan melakukan percobaan dalam kotrètan-kotrètan, ternyata guna membèdakan dengan Bahasa Arab asli yang mèmang mempergunakan Huruf Arab asli, dengan huruf Arab Modifikasi (baik itu digubah bentuknya, maupun dipakai hurufnya saja namun bahasa yang dipergunakan bolèh berbèda-bèda, maka inilah suatu konsènsus terobosan.
Misalnya:
Bagaimana apabila kita menggunakan tanwin hanya pada saat kata dasar yang lagi dipergubahkan dalam penggunaan lagi memerlukan satu atau beberapa imbuhan (baik awalan maupun akhiran)?. Tentu apabila kaidah seperti ini disepakati olèh para yuser komunikasi, akan lebih baik, sehingga kaidah-kaidah tajwid yang murni tetap terjaga, salam arti: orang-orang dapat mengetahui mana yang mèmang seharusnya disakralkan, dan mana yang dapat dipergubahkan guna digunakan dalam upaya mencapai kemaslahatan bersama, tanpa harus melanggar larangan Alloh. Bukankah begitu?.
Kembali kepada kata: 'Bandung', diperlukan ahli sejarah ataupun para pemerhati sejarah guna membahasakan keterangan mengenai kata dasar dari: 'Bandung'. Apabila 'Bandung' merupakan kata dasar, dan tiada memerlukan imbuhan guna orang-orang memahami maknanya, maka menurut penulis tiada perlu menggunakan fatah_tanwin ini, namun menggunakan 2 huruf guna menyimbolkan kata: 'Ban', yaitu: Ba dan Nun.
Adapun fatah_tan dalam pemakaian vèrsi gubahan lagu kita, tiada dimusnahkan, seperti pemakaian imbuhan bagi kata: 'Manaqib', diberi imbuhan akhir menjadi: 'Manaqiban'.
Pilihan:
1. Kembali ke Halaman .
___
Èditasi-1: 11/09/2018, Ba`da Isya:
1. Mencantumkan lèbel: Bu Ining, dan: Tanwin.
2. Mengubah kata 'guba' yang salah ketik, menjadi kata: 'guna'.
No comments:
Post a Comment